Selasa, 29 Oktober 2013

Pengembangan Pelabuhan Perikanan di Indonesia

 Oleh: BUSTAMI MAHYUDDIN (Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta)

 1.     Mengapa harus ada pelabuhan perikanan
Pelabuhan Perikanan  sudah sejak lama keberadaannya di Indonesia seiring dengan adanya usaha perikanan tangkap dengan namanya yang berbeda-beda sesuai dengan daerah dimana pelabuhan perikanan itu berada. Misalnya di Pulau Jawa ada yang menyebut Pangkalan Pendaratan Ikan, Pusat Pendaratan Ikan, Pelabuhan Perikanan, Tempat Pendaratan Ikan (TPI). Sebutan Tangkahan adanya di Pulau Sumatera khususnya yang ada di Belawan, Sibolga, Kepulauan Riau.
Sesuai dengan definisinya, Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselematan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
Keberadaan Pelabuhan Perikanan mutlak diperlukan untuk menunjang aktivitas perikanan  dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, kegiatan praproduksi, produksi, pengolahan, pemasaran ikan dan pengawasan sumberdaya ikan.

Pelabuhan perikanan bagian dari simtem pembangunan  perikanan. Pelabuhan Perikanan seringkali menjadi barometer majunya perikanan disuatu daerah atau wilayah karena kita dengan cepat melihat perkembangan unsur-unsur yang berperan dalam usaha perikanan seperti  ikan, kapal perikanan, alat penangkapan ikan, nelayan, pengusaha perikanan dan pasar ikan. Seringkali Pelabuhan Perikanan dijadikan sarana untuk mengecek apakah sistem pembangunan perikanan sudah operasional dengan baik. Misalnya adanya penangkapan ikan dan kemudian pendaratan ikan di Pelabuhan Perikanan perlu dilakukan pencatatan logbook oleh Nakhoda Kapal. Logbook adalah salah satu alat pengendali pemanfaatan sumberdaya ikan karena dengan logbook kita dapat memonitor kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan untuk setiap daerah penangkapan ikan. Begitu juga terhadap monitoring mutu hasil tangkapan dan distribusi atau harga ikan, itu semua ada dan dilakukan di Pelabuhan Perikanan.

Bagaimana disuatu wilayah usaha penangkapan ikan tidak ada fasilitas pelabuhan perikanan?  Dapat dipastikan kemajuan perikanan disana akan mengalami hambatan dan tantangan karena tidak ada sarana untuk pendaratan ikan yang lebih nyaman, sehingga kapal-kapal akan lebih cepat rusak dan mutu ikan serta harga ikan tidak terjamin dan akhirnya pengelolaan perikanan akan mengalami hambatan.

Mengingat pentingnya pelabuhan perikanan, hingga tahun 2012 pemerintah telah membangun dan mengembangkan pelabuhan perikanan di Indonesia sebanyak 816 unit yang terdiri dari 6 unit Pelabuhan Perikanan Samudera  (PPS), 14 unit Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), 45 unit Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan 749 unit Pusat Pendaratan Ikan (PPI) dan 2 unit pelabuhan perikanan swasta.

Permasalahan keberadaan pelabuhan perikanan di Indonesia saat ini adalah
(a) Dari segi jumlah masih belum mencukupi. Bila dibandingkan dengan keberadaan pelabuhan perikanan di Jepang bahwa setiap 11 kilometer panjang pantai terdapat satu pelabuhan perikanan, maka di Indonresia setiap 116 km panjang pantai (panjang pantai Indonesia 95.181 Km) terdapat satu pelabuhan perikanan. Dengan demikian penambahan jumlah pelabuhan perikanan dapat dipertimbangkan dengan memperhatikan  aspek lainnya.

(b)  Dari segi penyebaran keberadaan pelabuhan perikanan, sekitar 70 % pelabuhan perikanan berada di wilayah Indonesia Bagian Barat dan hanya 30 % pelabuhan perikanan berada di wilayah Indonesia Bagian Timur.  Kondisi ini bertolak belakang dengan keberadaan potensi sumberdaya ikan lebih banyak di Wilayah Indonesia Bagian Timur namun jumlah pelabuhan perikanan lebih sedikit, sedang di wilayah Indonesia Bagian Barat potensi sumberdaya ikan sudah banyak  terkuras dan over fishing  sedang jumlah pelabuhan perikanan lebih banyak. Kondisi ke depan penyebarannya akan dibenahi sesuai dengan potensi sumberdaya ikan.

 2.     Apa fungsi dan peranan pelabuhan perikanan
Pelabuhan perikanan yang dibangun harus berfungsi dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya. Ukuran suatu Pelabuhan Perikanan sudah berfungsi atau belum berfungsi, harus mengacu kepada fungsi pelabuhan perikanan.  Berdasarkan UU RI No.45/2009 tentang perubahan atas UU No.31/2004 tentang perikanan dinyatakan bahwa fungsi pelabuhan perikanan dapat berupa pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan, pelayanan bongkar muat, pelayanan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan, pemasaran dan distribusi ikan, pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan, tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan, pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan, tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan, pelaksanaan kesyahbandaran, tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan , publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas kapal perikanan.

Pelabuhan perikanan yang dibangun oleh pemerintah (dana APBN dan APBD) dan swasta  belum berfungsi sepenuhnyaPenyebab belum berfungsi pelabuhan perikanan antara lain:
(a)  Pemilihan lokasi pelabuhan perikanan tidak tepat sebagai akibat perencanaannya kurang cermat.
(b)  fasilitas pelabuhan yang belum mencukupi sehingga belum beroperasi sesuai dengan fungsinya,
(c)  kelembagaan untuk UPT belum dibentuk oleh Pemerintah Daerah sehingga belum memperoleh biaya operasional.

Apa upaya yang dilakukan supaya pelabuhan perikanan tersebut dapat berfungsi? Master plan pelabuhan perikanan secara Nasional segera ditetapkan yang menjadi acuan pemerintah dan swasta dalam membangun pelabuhan perikanan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama-sama menyediakan dana untuk melengkapi fasilitas pelabuhan dan membentuk kelembagaan pelabuhan perikanan.

Pelabuhan Perikanan yang telah ada sangat berperan dalam hal  :
(a)  Melakukan efisiensi biaya operasional usaha penangkapan dengan cara mempermudah perolehan kebutuhan melaut dengan harga pasar seperti BBM, Air, Es, Garam,
(b)  Meningkatkan harga jual hasil tangkapan dengan berfungsinya pelelangan ikan,
(c)  Terjadinya pertumbuhan industri perikanan  dengan tersedianya areal industri dan fasilitas pendukung lainnya seperti jalan kawasan dan jalan penghubung keluar kawasan menuju daerah konsumen maupun ke pelabuhan umum dan pelabuhan udara,
(d)  Berperan dalam penyerapan tenaga kerja untuk sektor pra produksi, produksi, pengolahan, pemasaran dan distribusi hasil tangkapan serta usaha-usaha ikutan lainya,
(e)  Terjadinya peningkatan pendapatan nelayan sebagai akibat dari efisiensi biaya operasional dan naiknya produktivitas penangkapan ikan,
(f)    Meningkatnya pertumbuhan ekonomi wilayah akibat dari tumbuhnya industri di kawasan pelabuhan perikanan.

Sampai seberapa jauh pelabuhan perikanan di Indonesia berperan saat ini? Bila dilihat dari segi penyediaan fasilitas walaupun masih kurang mencukupi, diperkirakan pelabuhan perikanan tersebut setidaknya telah berfungsi sebagai tempat pendaratan kapal dan pembongkaran ikan sehingga adanya efisiensi biaya operasional usaha penangkapan ikan.

3.     Apa peranan pembangunan pelabuhan perikanan masa depan.
Pembangunan pelabuhan perikanan dimasa depan harus dilakukan melalui pendekatan sumberdaya ikan dengan memperhatikan perkembangan kebutuhan protein ikan dunia dan pengelolaan perikanan secara nasional dan regional. Pengelolaan pelabuhan perikanan sangat terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan secara nasional dan regional yang telah diatur didalam UU RI Nomor 45/2009 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31/2004 tentang perikanan. Dalam pelaksanaan pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2012 tentang Kepelabuhanan Perikanan. Pembangunan pelabuhan perikanan di Indonesia lebih dominan dilakukan oleh pemerintah. Memang ada peluang untuk mendorong swasta ikut membangun pelabuhan perikanan, namun saat ini hanya 2 pelabuhan swasta yang baru dibangun.

Pelabuhan perikanan masa depan diarahkan:
(a)  Berperan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi melalui pengaturan penyesuaian penyebaran pelabuhan perikanan. Pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan yang akan datang perlu diarahkan ke kawasan Indonesia Timur dengan pertimbangan bahwa beberapa perairan di Indonesia Barat telah over fishing, potensi perikanan dibagian timur cukup besar, pembangunan pelabuhan perikanan dikawasan timur berpeluang untuk membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru, dan pelabuhan perikanan dapat berfungsi sebagai kantong-kantong pengaman wilayah perairan Indonesia dari upaya-upaya pencurian sumberdaya ikan oleh nelayan negara asing,

(b)  Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, pelabuhan perikanan harus dilengkapi fasilitas dan kelembagaannya sehingga dapat berfungsi. Jalan akses menuju pelabuhan dan ke daerah konsumen serta ke pelabuhan utama (pelabuhan laut dan udara) harus tersedia. Setiap pelabuhan sebaiknya ada fasilitas pasar ikan sehingga aktivitas pelabuhan perikanan kelihatan hidup,

(c)  Pengelolaan pelabuhan perikanan tidak hanya dilihat dari sisi keuntungan ekonominya saja, melainkan juga harus berorientasi pada aspek lingkungan hidup. Pengelolaan pelabuhan perikanan yang berwawasan lingkungan sebagaimana dalam konsep eco fishingport menyebutkan bahwa pelabuhan merupakan salah satu contoh dimana aktivitas manusia dan permasalahan lingkungan seringkali menimbulkan konflik. Terkait dengan hal ini, maka perlu dilakukan pengelolan pelabuhan perikanan menuju pada pencapaian keseimbangan antara nilai lingkungan dan manfaat ekonomi, sehingga terdapat harmonisasi aspek komersial dan lingkungan,

(d)  Pengembangan pelabuhan perikanan hendaknya tercipta hubungan antar sesama pelabuhan perikanan baik yang ada didalam negeri maupun pelabuhan perikanan diluar negeri. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) harus memiliki hubungan dengan beberapa Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN). Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) harus memiliki hubungan dengan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP). Begitu juga Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) harus memiliki hubungan dengan beberapa Pusat Pendaratan Ikan (PPI). Dengan adanya hubungan antar pelabuhan perikanan tersebut akan terjadi peningkatan operasional pelabuhan perikanan. Sedangkan kerjasama dengan pelabuhan perikanan yang ada diluar negeri perlu dilakukan untuk pendataan operasional pelabuhan perikanan. Bagi kapal-kapal luar negeri yang masuk ke pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia harus mengikuti norma – norma yang berlaku secara internasional, antara lain dengan adanya ketentuan Port State Measure (PSM),

(e)  Pelayanan prima yang diberikan pelabuhan perikanan harus memberi kenyamanan tumbuhnya industri perikanan. Standar pelayanan diarahkan sesuai dengan standar pelayanan internasional yakni ISO 9001:2008 dalam rangka pelayanan prima,
(f)    Penyediaan kebutuhan stakeholder di pelabuhan perikanan harus selalu ditingkatkan sehingga aktivitas perikanan akan lebih lancar,
(g)  Sarana komunikasi yang merupakan kebutuhan mutlak untuk stakeholder selalu tersedia,
(h)  Dukungan perbankan untuk mempermudah transaksi aktivitas perikanan,
(i)    Faktor kebersihan, keamanan, ketertiban, keindahan harus selalu terkendali sehinggastakeholder merasa nyaman didalam melakukan aktivitasnya,
(j)    Sumberdaya manusia pengelola pelabuhan perikanan harus ditingkatkan kompetensi dan keahliannya.

 4.     Apa bentuk pengelolaan pelabuhan perikanan berstandar internasional
Mengingat perkembangan perekonomian dunia yang sangat cepat dan dinamis maka pengelolaan pelabuhan perikanan yang akan datang harus mengikuti kaidah-kaidah berstandar internasional. Terkait dengan hal tersebut, saat ini pelabuhan perikanan telah mengikuti kaidah-kaidah yang keluarkan oleh RFMOs dan ketentuan-ketentuan pemasaran ikan ke Uni Eropa, Jepang dan Amerika. Pelayanan pelabuhan perikanan mengikuti standar ISO 9001:2008 tentang pelayanan prima. Untuk memperoleh ISO tersebut maka perlu dilakukan pendekatan kepada pihak yang mengeluarkan ISO sehingga pelabuhan perikanan melengkapi syarat-syaratnya. Kerjasama dengan RFMOs telah dilakukan dalam bentuk proses pendaftaran kapal-kapal perikanan yang menangkap ikan di laut lepas, pencatatan data hasil tangkapan. Sedangkan kerjasam dengan Uni Eropa telah dilakukan proses Catch Certification untuk ikan-ikan yang dijual Uni Eropa. Bagi kapal-kapal asing yang masuk ke pelabuhan perikanan di Indonesia dilakukan proses sesuai dengan ketentuan Port State Measure (PSM).


Penerapan dan Pengolahan Log book Penangkapan Ikan

Di awal Oktober 2010 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 18/MEN/2010 tentang Log book Penangkapan Ikan. Peraturan tersebut menggantikan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.03/MEN/2002 tentang Log book Penangkapan dan Pengangkutan Ikan dengan membawa cukup banyak perubahan dan jaminan kerahasiaan data. Dengan keluarnya peraturan ini, maka penerapan log book penangkapan ikan yang sempat mati suri dapat dijalankan kembali sesuai tujuan awalnya, yaitu memastikan kegiatan perikanan tangkap yang berkesinambungan dan menjaga ketersediaan sumberdaya ikan yang lestari.
Peraturan Menteri KP Nomor 18/MEN/2010 tersebut mewajibkan seluruh kapal penangkapan ikan yang memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) untuk mengisi log book tersebut dalam operasi penangkapan ikannya. Sebagai kontrol di masa depan, penyerahan log book setelah operasi penangkapan akan diusulkan untuk menjadi syarat bagi kapal perikanan mendapatkan Surat Ijin Berlayar (SIB). Selama ini, log book dengan format lama sesuai Kepmen Nomor 03/MEN/2002 tidak banyak dipatuhi oleh nakhoda kapal perikanan. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain adalah rumitnya format isian logbook dan lemahnya peraturan untuk menjalankan logbook penangkapan ikan dengan disiplin. Dengan kewajiban yang masuk ke dalam persyaratan keluarnya SIB tersebut, nelayan diharapkan patuh untuk mengisilog book penangkapan ikan.
Salah satu perubahan pada log book yang terbaru adalah format isiannya yang lebih sederhana sehingga mudah dipahami oleh nakhoda dan anak buah kapal perikanan. Walau pun jauh lebih sederhana, namun jenis data yang terkumpul dalam log book terbaru ini sudah sesuai standar internasional. Secara umum, data yang tercantum dalam formulir log book adalah data kapal perikanan, data alat penangkapan ikan, data operasi penangkapan ikan (posisi lintang bujurnya) dan data ikan hasil tangkapan (dalam berat dan jumlah). Log book perikanan Indonesia ini dianggap sangat memadai oleh organisasi perikanan regional semacam Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) serta negara-negara penghasil perikanan maju seperti Jepang dan Swedia. Terjaganya kualitas data tersebut sangat penting agar log book dapat memberi gambaran pemanfaatan sumberdaya ikan sehingga mampu menjadi dasar pengelolaan perikanan.
Untuk mengoptimalkan fungsi log book, maka format log book pun dibuat ke dalam tiga jenis menurut alat penangkapan ikannya, yaitu log book untuk rawai tuna dan pancing ulur (disebut Lampiran I (satu) dalam Peraturan Menteri); pukat cincin, huhate dan pancing tonda (Lampiran II); dan alat penangkapan ikan lainnya (Lampiran III). Pada log book edisi sebelumnya, hanya ada satu macam format isian sehingga kerap dinilai membingungkan oleh nelayan. Dengan format baru ini, setiap nelayan dapat mengisi data yang dibutuhkan seperti hasil tangkapan dan posisi operasinya dengan lebih jelas.
Bongkar Hasil Tangkapan - Suasana bongkar muatan hasil tangkapan kapal rawai tuna di Pelabuhan Benoa, Bali. Perikanan tuna adalah salah satu kegiatan perikanan yang harus didata melalui logbook penangkapan ikan. Hal ini sangat penting karena keterbatasan sumberdaya dan sifat tuna yang wilayah migrasinya luas sehingga pengelolaannya melibatkan banyak negara.
Salah satu terobosan yang dilakukan peraturan menteri tentang log book penangkapan ikan kali ini adalah adanya jaminan kerahasiaan data perikanan yang diisi oleh nakhoda. Kerahasiaan data ini sejalan dengan amanat Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Salah satu data yang harus diisi adalah lokasi penangkapan berupa lintang dan bujur posisi penangkapan. Posisi ini adalah rahasia dapur nakhoda yang bahkan pengelola perusahaan pun kadang tidak mengetahuinya. Kebocoran posisi penangkapan berarti memberitahukan ladang emas yang menjadi rahasia kita kepada orang lain. Di sisi lain, posisi penangkapan ikan sangat penting untuk diketahui agar pemanfaatan sumberdaya ikan di rentang kawasan tertentu diketahui secara pasti. Untuk itulah, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap memberi jaminan bahwa informasi posisi penangkapan itu akan dirahasiakan. Data yang diolah kemudian akan menyajikan hasil tangkapan di kawasan yang lebih umum, misalnya produksi perikanan di kawasan WPP tertentu dalam kurun waktu tertentu. Betapa pentingnya menjaga kerahasiaan lokasi penangkapan sehingga, secara tidak langsung, peraturan tersebut mewajibkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap untuk menyediakan sarana penyimpanan log book yang aman dan memadai.
Salinan formulir logbook penangkapan ikan yang telah dikumpulkan dari nelayan pun tidak mungkin disimpan selama puluhan tahun. Oleh sebab itu, perlu pengaturan pemusnahannya. Pemusnahan formulir logbook terisi tersebut harus dilakukan dalam mekanisme yang jelas dan diatur, setidaknya oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, karena formulir tersebut mengandung informasi yang patut dirahasiakan.
Penerapan log book penangkapan ikan pun butuh dukungan prasarana teknologi berupa sistem informasi yang menghubungkan antara pelabuhan-pelabuhan perikanan sebagai lokasi pengumpulan data dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pusat data. Untuk pelabuhan yang bukan merupakan pelabuhan perikanan, nelayan dapat menyerahkan log book kepada pejabat pelabuhan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Dengan demikian, pekerjaan selanjutnya bagi Direktur Jenderal Perikanan Tangkap adalah segera merealisasikan sistem informasi tersebut dan menunjuk petugas dari pelabuhan umum untuk menjadi petugas log book penangkapan ikan.
Sampai saat ini, sistem informasi yang telah dibangun belum bisa mengintegrasikan pelabuhan dan pusat. Pemasukan data (data entry) masih dilakukan manual oleh petugas di pusat. Untuk sementara, pelabuhan hanya berfungsi sebagai pengumpul formulir log book yang dikumpulkan oleh nelayan. Di masa depan ketika sistem informasi sudah terbangun dan pusat terhubung dengan pelabuhan secara on line, maka diharapkan pemasukan data bisa dilakukan di pelabuhan. Dengan demikian, biaya operasional log book bisa ditekan dan transfer data log book lebih cepat.
Pekerjaan rumah bagi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap untuk menerapkan logbook penangkapan ikan masih banyak. Namun demikian, terbitnya Peraturan Menteri Nomor 18/MEN/2010 tentang Log book Penangkapan Ikan setidaknya adalah awal yang baik untuk pengelolaan perikanan yang tepat karena didukung ketersediaan data yang berkualitas.
diunggah dari : http://edwison.wordpress.com (Supervisi Logbook Penangkapan Ikan KKP RI)

Senin, 28 Oktober 2013

CCRF DAN IMPLEMENTASI DI INDONESIA

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) merupakan suatu kesepakatan yang digagas oleh FAO dalam konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO di Roma pada tanggal 31 Oktober 1995. FAO juga berkolaborasi dengan anggota dan organisasi yang relevan untuk menyusun technical guidelines yang mendukung pelaksanaan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries tersebut. Pelaksanaan CCRF bersifat sukarela, global, dan langsung kepada anggota maupun non anggota FAO. Namun beberapa bagian dari pola perilaku tersebut disusun dengan merujuk pada UNCLOS 1982. FAO menghasilkan instrumen ini sebagai upaya terobosan terhadap sulitnya mengajak negara-negara perikanan dunia untuk mau mengikatkan diri pada konvensi-konvensi perikanan yang sifatnya mengikat. Karena norma atau tingkah laku ini bersifat sukarela sehingga diperlukan jaminan agar setiap orang yang bekerja dalam perikanan dan budidaya perairan mengikatkan diri terhadap prinsip-prinsip dan tujuan akhir dari CCRF ini serta mengambil tindakan untuk melaksanakannya.
FAO menghasilkan instrumen CCRF ini sebagai upaya terobosan terhadap sulitnya mengajak negara-negara perikanan dunia untuk mau mengikatkan diri pada konvensi-konvensi perikanan yang sifatnya mengikat.
Tujuan CCRF adalah untuk membantu negara-negara dan kelompok negara, membangun atau meningkatkan perikanan dan budidaya perairan mereka, untuk mencapai tujuan akhir mereka yaitu keberlanjutan sistem perikanan global. CCRF ini menjelaskan bagaimana perikanan harus diatur secara bertanggungjawab, dan bagaimana, perikanan beroperasi sesuai dengan peraturan nasional masing-masing negara. CCRF mengatur banyak bidang, ada 6 topik yang diatur dalam tatalaksana CCRF, antara lain:
• Pengelolaan perikanan
• Operasi penangkapan
• Pengembangan akuakultur
• Integrasi perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir
• Penanganan pasca panen dan perdagangan
• Penelitian perikanan.
Adopsi CCRF dalam hukum nasional Indonesia diimplementasikan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 6 Tahun 1996 beserta dengan peraturan pelaksana lainnya berupa peraturan pemerintah dan keputusan menteri. Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 menunjukkan bahwa Indonesia menuangkan implementasi CCRF, dimana pada pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pembangunan perikanan antara lain: (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan; (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3) mendorong perluasan dan kesempatan kerja; (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; (5) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan; (6) meningkatkan produktivitas, mutu nilai tambah, dan daya saing; (7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang. Implementasi CCRF di Indonesia antara lain pada beberapa bidang:
1. Fisheries management (pengelolaan perikanan)
 Memperhatikan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) dalam merencanakan pemanfaatan sumberdaya ikan
 Menetapkan kerangka hukum – kebijakan
 Menghindari Ghost Fishing atau tertangkapnya ikan oleh alat tangkap yang terbuang / terlantar
 Mengembangkan kerjasama pengelolaan, tukar menukar informasi antar instansi dan Negara
 Memperhatikan kelestarian lingkungan.
2. Fishing operations (Operasi Penangkapan).
 Penanganan over fishing atau penangkapan ikan berlebih
 Pengaturan sistem perijinan penangkapan
 Membangun sistem Monitoring Controlling Surveillance (MCS).
3. Aquaculture development (Pembangunan Akuakultur)
 Menetapkan strategi dan rencana pengembangan budidaya
 Melindungi ekosistem akuatik
 Menjamin keamanan produk budidaya.
4. Integration of fisheries into coastal area management (Integrasi Perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir)
 Mengembangkan penelitian dan pengkajian sumberdaya ikan di kawasan pesisir beserta tingkat pemanfaatannya.
5. Post-harvest practices and trade (Penanganan Pasca Panen dan Perdagangan).
 Bekerjasama untuk harmonisasi dalam program sanitasi, prosedur sertitikasi dan lembaga sertifikasi
 Mengembangkan produk value added atau produk yang bernilai tambah
 Mengembangkan perdagangan produk perikanan
 Memperhatikan dampak lingkungan kegiatan pasca panen.
6. Fisheries research (Penelitian Perikanan)
 Pengembangan penelitian
 Pengembangan pusat data hasil penelitian
 Aliansi kelembagaan internasional.
Butir-butir dalam CCRF antara lain:
1. Pelaksanaan hak untuk menangkap ikan bersamaan dengan kewajiban untuk melaksanakan hak tersebut secara berkelanjutan dan lestari agar dapat menjamin keberhasilan upaya konservasi dan pengelolaannya;
2. Pengelolaan sumber-sumber perikanan harus menggalakkan upaya untuk mempertahankan kualitas, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber-sumber perikanan dalam jumlah yang mencukupi untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang;
3. Pengembangan armada perikanan harus mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya sesuai dengan kemampuan reproduksi demi keberlanjutan pemanfaatannya;
4. Perumusan kebijakan dalam pengelolaan perikanan harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang terbaik, dengan memperhatikan pengetahuan tradisional tentang pengelolaan sumber-sumber perikanan serta habitatnya;
5. Dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan, setiap negara dan organisasi perikanan regional harus menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) seluas-luasnya;
6. Alat-alat penangkapan harus dikembangkan sedemikian rupa agar semakin selektif dan aman terhadap kelestarian lingkungan hidup sehingga dapat mempertahankan keanekaragaman jenis dan populasinya;
7. Cara penangkapan ikan, penanganan, pemrosesan, dan pendistribusiannya harus dilakukan sedemikian rupa agar dapat mempertahankan nilai kandungan nutrisinya;
8. Habitat sumber-sumber perikanan yang kritis sedapat mungkin harus dilindungi dan direhabilitasi;
9. Setiap negara harus mengintegrasikan pengelolaan sumber-sumber perikanannya kedalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir;
10. Setiap negara harus mentaati dan melaksanakan mekanisme Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) yang diarahkan pada penataan dan penegakan hukum di bidang konservasi sumber-sumber perikanan;
11. Negara bendera harus mampu melaksanakan pengendalian secara efektif terhadap kapal-kapal perikanan yang mengibarkan benderanya guna menjamin pelaksanaan tata laksana ini secara efektif;
12. Setiap negara harus bekerjasama melalui organisasi regional untuk mengembangkan cara penangkapan ikan secara bertanggungjawab, baik di dalam maupun di luar wilayah yurisdiksinya;
13. Setiap negara harus mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan secara transparan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan peraturan dan kebijakan pengelolaan di bidang perikanan;
14. Perdagangan perikanan harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak, dan kewajiban sebagaimana diatur dalam persetujuan World Trade Organization (WT-0);
15. Apabila terjadi sengketa, setiap negara harus bekerjasama secara damai untuk mencapai penyelesaian sementara sesuai dengan persetujuan internasional yang relevan;
16. Setiap negara harus mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi melalui pendidikan dan latihan, serta melibatkan mereka di dalam proses pengambilan keputusan;
17. Setiap negara harus menjamin bahwa segala fasilitas dan peralatan perikanan serta lingkungan kerjanya memenuhi standar keselamatan internasional;
18. Setiap negara harus memberikan perlindungan terhadap lahan kehidupan nelayan kecil dengan mengingat kontribusinya yang besar terhadap penyediaan kesempatan kerja, sumber penghasilan, dan keamanan pangan;
19. Setiap negara harus mempertimbangkan pengembangan budidaya perikanan untuk menciptakan keragaman sumber penghasilan dan bahan makanan.
CCRF dapat diimplementasikan dan dikembangkan oleh negara-negara dan kelompok negara dalam membangun atau meningkatkan perikanan dan budidaya perairan mereka, untuk mencapai tujuan akhir mereka yaitu keberlanjutan sistem perikanan global. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari CCRF itu sendiri. Pelaksanaan CCRF ini disesuaikan dengan peraturan nasional masing-masing negara.
dipublikasikan dari : andihakim31.wordpress.com

Sekilas Mengenai CCRF

Pengantar

Perikanan menyediakan sumber penting bagi pemenuhan sumber makanan, pendapatan, pekerjaan dan rekreasi. Jutaan manusia bergantung kepada perikanan sebagai mata pencaharian, sehingga perlu keterlibatan semua stakeholder untuk mengelola perikanan dunia guna menjamin kecukupan ikan untuk generasi mendatang.

Lebih dari 170 angggota FAO dengan persepsi sama mengenai kondisi perikanan mengadopsi CCRF (tatalaksana perikanan bertanggungjawab). CCRF masih bersifat sukarela dan ditujukan kepada stakeholder yang bekerja dan terlibat dalam perikanan. Karena sifat sukarela tersebut, perlu komitmen stakeholder untuk menjamin prinsip, tujuan dan tindakan praktis dalam implementasi CCRF. Berkaitan dengan hal tersebut, CCRF merupakan representasi konsensus global terhadap isu luas perikanan.

Implementasi CCRF akan dicapai efektif jika pemerintah dapat mengintegrasikan prinsip dan tujuan CCRF kedalam kebijakan dan aturan perikanan nasional. Pemerintah juga melakukan konsultasi dengan industri dan kelompok lainnya untuk menjamin adanya dukungan terhadap perubahan aturan atau kebijakan perikanan. Disamping itu, pemerintah memberikan upaya dukungan terhadap industri dan komunitas perikanan untuk mengembangkan tata kegiatan yang baik dan konsisten untuk mendukung sasaran dan tujuan CCRF. 

CCRF menekankan bahwa negara dan stakeholder yang terlibat dalam perikanan perlu bekerjasama dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan dan habitatnya guna menjamin pasokan ikan bagi generasi mendatang. Semua pihak yang terlibat dalam perikanan perlu berjuang untuk mencapai produksi pada level yang rasional. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan kegiatan penangkapan perlu dirancang untuk mencapai keberlanjutan sumber daya ikan yang berarti menjamin konservasi sumber daya, kesinambungan pasokan makanan dan mengurangi kemiskinan.

Pengembangan kebijakan perikanan yang baik, sebagaimana telah diketahui bersama, memerlukan pembiayaan, keterampilan dan pengalaman yang mungkin tidak selalu tersedia di masing-masing negara. Dengan demikian, CCRF mendukung organisasi internasional seperti FAO untuk membantu pengembangan kapasitas nasional suatu negara untuk meningkatkan kemampuan negara tersebut mengembangkan dan mengelola perikanan.

CCRF tidak sertamerta menjelaskan secara gamblang bagaimana nelayan, industri dan pemerintah perlu mengambil langkah yang diperlukan guna mencapai implementasinya. Untuk itu, FAO mengembangkan pedoman secara rinci pada topik yang berbeda untuk mendukung implementasi CCRF. 

Manajemen Perikanan

CCRF mendukung negara agar mempunyai kebijakan penangkapan ikan yang jelas dan terorganisasi dengan baik guna pengelolaan perikanan. Kebijakan tersebut perlu dikembangkan bekerjasama dengan semua kelompok yang terlibat dalam perikanan, termasuk industri, pekerja perikanan, kelompok lingkungan dan organisasi lain yang berminat terhadap perikanan.

Kerjasama antar negara diperlukan karena sumberdaya perikanan terbagi diantara negara-negara tersebut, dan CCRF mengarahkan pada pembentukan organisasi perikanan regional atau menguatkan organisasi yang telah ada. 

Manajemen perikanan menjamin kegiatan penangkapan ikan dan pengolahan dilaksanakan sesuai dengan kaidah untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, mengurangi limbah, dan menjaga mutu ikan hasil tangkap. Nelayan wajib mencatat kegiatan operasi penangkapan mereka dan pemerintah juga perlu menetapkan prosedur penegakan hukum.

Negara perlu menggunakan informasi sains terbaik yang tersedia dalam menyiapkan kebijakan serta mempertimbangkan kegiatan penangkapan ikan tradisional. Jika informasi yang tersedia terbatas, negara perlu bertindak sangat hati-hati dalam menetapkan batasan perikanan tangkap.

Stakeholder perlu mendukung pandangan mereka terhadap berbagai isu, terutama kebutuhan komunitas lokal yang menggantungkan kehidupannya pada kegiatan perikanan. Negara memberikan dukungan pelatihan dan pendidikan kepada nelayan dan pembudidaya ikan sehingga mereka dapat terlibat dalam pengembangan dan implementasi kebijakan keberlanjutan perikanan.

Guna melindungi sumber daya perikanan maka penggunaan dinamit, racun dan kegiatan penangkapan yang merusak dilarang di semua area. Negara perlu menjamin hanya kapal penangkap ikan yang berijin dioperasikan di perairannya. Kapal-kapal tersebut melakukan kegiatan penangkapan ikan secara bertanggungjawab yang didukung dengan berbagai aturan dan penegakan hukum oleh negara.

Ukuran kapal penangkap ikan perlu sesuai dengan daya dukung guna menghindari tangkap lebih. Dampak kegiatan penangkapan perlu diketahui dan dikaji sebelum mengenalkan alat tangkap baru. Metode penangkapan perlu selektif dan dirancang untuk meminimalkan limbah dan memberikan tingkat kesempatan lolosnya ikan lebih besar. Alat tangkap perlu meminimalkan hasil tangkap yang tidak diinginkan atau yang dilindungi. 

Logistik kapal perlu sesuai dengan persepsi untuk meminimalisir limbah dan sampah. Pemilik dan awak kapal perlu menjaga limbah kapal agar tidak menyebabkan polusi. Negara perlu mengadopsi pedoman pengurangan gas buang yang berbahaya dan bahan yang merusak ozon seperti yang dipakai dalam sistem refrigerasi, untuk melindungi kualitas udara. 

Habitat ikan yang penting seperti mangrove dan karang perlu dilindungi dari kerusakan dan polusi. Jika kondisi alam mengancam sumber daya perikanan, negara perlu menyiapkan tindakan pencegahan dan jika perlu menetapkan tindakan konservasi dan pengelolaan.

Pengembangan Akuakultur

Pengembangan akuakultur perlu mengkonservasi diversitas genetik dan meminimalisir efek negatif budidaya ikan dari populasi ikan liar. Negara perlu menetapkan kebijakan dan rencana alokasi sumberdaya secara transparan guna menghindari konflik antar pemanfaat sumberdaya yang berbeda.

Negara perlu menetapkan kegiatan untuk meyakinkan bahwa mata pencaharian komunitas lokal termasuk akses dan produktivitas daerah penangkapan tidak berefek terhadap pengembangan akuakultur, sehingga perlu memulai pengembangan prosedur pemantauan dan penilaian terhadap efek lingkungan akuakultur. Disamping itu, perlu penekanan terhadap pemantauan jenis makanan dan pupuk yang digunakan. Penggunaan bahan kimia serta obat lainnya perlu diminimalkan karena dapat berdampak negatif terhadap lingkungan, dan yang lebih penting adalah dampak terhadap keamanan dan kualitas produk akuakultur. Guna meminimalisir penyakit dari spesies baru, negara perlu menetapkan persetujuan tentang introduksi dan transfer tanaman dan binatang akuatik dari satu tempat ke tempat lain. 

Integrasi Perikanan kedalam Manajemen Wilayah Pesisir

Proses perencanaan pemanfaatan dan akses sumber daya pesisir perlu mempertimbangkan keberadaan nelayan, kehidupan serta opini mereka di lokasi tersebut. Jika wilayah pesisir mempunyai berbagai manfaat, kegiatan perikanan diupayakan menghindari konflik diantara nelayan dan pemanfaat sumber lainnya. Jika konflik tidak dapat dihindari maka perlu menetapkan prosedur yang transparan guna solusi konflik. Negara dengan wilayah pesisir berdampingan perlu kerjasama diantara mereka untuk menjamin adanya manajemen dan konservasi yang baik.

Pasca Panen dan Tanggungjawab Perdagangan
Negara perlu mendukung rakyatnya untuk makan ikan dan meyakinkan bahwa ikan dan produk perikanan lainnya aman dan sehat. Supervisi dan penegakan hukum oleh negara terhadap standar mutu perlu ditetapkan untuk melindungi kesehatan konsumen dan untuk mencegah masalah komersil. Selanjutnya, negara perlu kerjasama dalam menentukan tindakan sanitari dan program sertifikasi.

Metode proses, transportasi, dan penyimpanan ikan perlu pendekatan ramah lingkungan. Limbah proses pasca panen perlu diminimalisir, hasil tangkap sampingan perlu dimanfaatkan sebaik mungkin, air dan enerji perlu dikelola secara hati-hati. Produksi dan produk pengolahan bernilai tinggi perlu didukung karena akan berdampak terhadap nelayan.

Peraturan perdagangan mengenai ikan dan produk ikan harus sederhana, jelas dan konsisten dengan aturan internasional. Nelayan, organisasi lingkungan dan kelompok konsumen perlu diajak konsultasi secara periodik dalam meninjau dan memformulasi aturan perdagangan. 

Riset Perikanan

Negara harus menyadari bahwa kebijakan perikanan bertanggungjawab memerlukan basis sains. Sehingga negara perlu menyediakan fasilitas dan mendukung pelatihan. 

Negara perlu memantau kondisi ikan dan habitatnya dan melihat perubahan yang terjadi. Data tentang efek alat tangkap yang berbeda terhadap ikan tujuan tangkap perlu dikumpulkan. Kegiatan riset secara khusus penting jika merencanakan untuk introduksi alat tangkap komersil atau teknik penangkapan. 

Negara perlu menjalin kerjasama dalam upaya riset internasional. Informasi saintifik yang mendukung penangkapan perlu disediakan terhadap organisasi perikanan regional dan didistribusikan kepada semua negara terkait secepat mungkin.

Apa artinya semua ini ?

Sebagai sumber daya yang dapat pulih, ikan dapat dipanen sepanjang tahun jika negara mempunyai kebijakan yang tepat dan jika mengikuti kegiatan pemanfaatan dan penangkapan secara bertanggungjawab. Seiring dengan akuakultur, kegiatan akuakultur yang tidak membahayakan lingkungan perlu didukung karena berkontribusi terhadap sosial ekonomi komunitas pembudidaya dan ekonomi negara. 

Jika CCRF sukses diimplementasi oleh stakeholder perikanan, dapat diharapkan bahwa ikan dan produk ikan akan tersedia bagi generasi sekarang dan mendatang. Generasi sekarang mempunyai kewajiban moral untuk tetap tidak mengurangi ketersediaan suplai ikan bagi generasi mendatang dengan bertindak ceroboh saat ini.

CCRF menekankan negara dan masyarakatnya untuk mengimplementasikan CCRF secara komprehensif dan terintegrasi dengan kebijakan perikanan. Kegiatan tersebut makin lama akan memberikan hasil yang berdampak terhadap pengembangan status stok ikan, dan berkontribusi terhadap keamanan pangan dan kesempatan memperoleh pendapatan secara keberlanjutan.

Bagaimana kontribusi lembaga kita dalam CCRF ini ? Tidak perlu disangsikan, pada semua program studi subtansi tersebut telah menjadi bahan kompetensi. Tinggal menunggu implementasi ..... Trung pai.
dipublikasikan dari : www.sdi.kkp.go.id

Kamis, 24 Oktober 2013

SENAM PAGI YANG MENYENANGKAN DI PPN SIBOLGA

Berolah-raga merupakan kegiatan yang paling efektive untuk mempertahankan keadaan tetap bugar. Ini adalah kegiatan yang mudah, murah, dan dapat dilakukan oleh semua orang. Selain itu olah raga juga dapat menghilangkan kejenuhan, stress beraktifitas dalam pekerjaan.

Sudah menjadi rutinitas bagi seluruh Pegawai di lingkungan Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga (PPN Sibolga)  melaksanakan senam pagi bersama setiap hari Jumat minggu I dan III. Kegiatan senam ini diikuti peserta penuh semangat dan gembira.
Selain kegiatan senam ada olah raga futsal yang juga rutin dilaksanakan dilingkungan PPN Sibolga setian hari selasa dan jumat pukul 17.00 WIB di lapangan Multi Fungsi. Terlihat jumlah peserta dalam kegiatan olah raga meningkat dari waktu ke waktu.  Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk melakukan gaya hidup sehat khususnya aktifitas fisik secara teratur mulai meningkat.

Dermaga Baru PPN Sibolga Siap di Fungsikan

Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga saat ini memiliki Dermaga Baru yang siap digunakan kapal perikanan. Dengan kedalaman min 5 m dermaga ini dapat disinggahi kapal perikanan dengan gross ton besar. Saat ini ada beberapa perusahaan perikanan yang tertarik untuk berinvestasi di PPN Sibolga mengingat fasilitas sarana dan prasarana di PPN Sibolga semakin memadai.

STANDAR PELAYANAN PPN SIBOLGA

Standar Operasional Prosedur (SOP) Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan suatu pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas...